Sabtu, 12 Mei 2012

PERKEMBANGAN HADITS PADA MSA SAHABAT, TABI’IN DAN PEMALSUAN HADITS

A. HADITS PADA MASA SAHABAT
1. Hadis pada Masa Khulafa al-Rasyidin
Periwayatan hadis pada masa Abu Bakar dan Umar bin Khattab masih terbatas disampaikan kepada yang memerlukan saja, belum bersifat pengajaran resmi. Demikian juga penulisan hadis.
Periwayatan hadis begitu sedikit dan lamban. Hal ini disebabkan kecenderungan mereka untuk membatasi atau menyedikitkan riwayat (Taqlil al-Riwâyah), di samping sikap hati-hati dan teliti para sahabat dalam menerima hadis.
Ali bahkan hanya mau menerima hadis perorangan jika orang tersebut bersedia disumpah. Pada masa ini muncul sektarianisme yang bertendensi politis menimbulkan perbedaan pendapat dan pertentangan, bukan saja dalam bidang politik dan pemerintahan, tapi juga dalam ketentuan-ketentuan keagamaan.
2. Metode Sahabat dalam Menjaga Sunnah Nabi SAW.
a. Kehati-hatian dalam meriwayatkan hadis. Seperti :
Metode Abu Bakar dan Umar dalam menyelesaikan ketentuan hukum adalah mengembalikan permasalahan pada Al-Qur’an. Jika tidak menemukannya, maka ia bertanya pada sahabat lain : ‘Apakah ada yang mengetahui bahwa Rasul pernah memutuskan perkara seperti itu?
Pada masa Khulafa al-Rasyidin, cenderung membatasi atau menyedikitkan riwayat (Taqlil al-Riwâyah).
Seusai meriwayatkan hadis, mereka akan mengatakan نحو هذا , كما قال atau kata yang sejenisnya.
b. Kecermatan (selektif) sahabat dalam menerima riwayat.
c. Jaminan akan kesahihan riwayat dan kapasitas pembawanya.
d. Mencari hadis dari perawi lain dan meminta kesaksian selain periwayat.
3. Cara Meriwayatkan Hadis
Periwayatan Lafzi - redaksinya - matannya persis seperti yang diwurudkan Rasul. Sahabat yang paling terkenal meriwayatkan dengan lafzi adalah Abdullah bin Umar.
Periwayatan Maknawi, periwayatan hadis yang matannya tidak persis sama dengan yang dari Rasul akan tetapi isi/makna akan tetap terjaga secara utuh, sesuai dengan yang dimaksudkan oleh Rasul tanpa ada perubahan sedikitpun.
B. HADITS PADA MASA TABI’IN
1. Hadits pada masa tabi’in
Para tabi’in memperoleh hadits dari para sahabat. Mereka berbaur dan mengenal segala sesuatu dari para sahabat dan mereka juga membawa sebgaian besah hadis Rasul dan para sahabat. Mereka benar-benar mengetahui kapan para sahabat melarang penulisan hadis dan kapan mereka memperbolehkannya. Mereka benar-benar mengambil teladan dari para sahabat yang merupakan generasi pertama yang membwa Alquran dan hadis. Karena alasan-alasan yang menyebabkankhulafaurrasyidin dan para sahabat lain melarang penulisan hadis sama dengan alasan-alasan yang menjadi pertimbangan para tabi’in dalam pelarangannya, sehingga semua mengacu pada titik yang sama. Para tabi’in akan melarang penulisan al-Sunnah bila alasan-alasan itu ada dan akan menyepakati kebolehan penulisannya ketika alasan-alasan itu hilang ataupun bahkan meyoritas mereka menganjurkannya.
C. MUNCULNYA PEMALSUAN HADITS
Pergolakan politik yang terjadi pada masa sahabat, setelah terjadinya perang jamal dan perang shiffin, yaitu ketika kekuasaan dipegang oleh Ali bin Abi Thalib. Akan tetapi akibatnya cukup panjang dan berlarut-larut
terpecahnya umat islam ke dalam beberapa kelompok yaitu;pertama: golongan Syi’ah, pendukung ‘Ali bin Abi Thalib.Kedua: golongan khawarij, penentang Ali dan Mu’awiyah,ke tiga: golongan jama’ah yang tidak mendukung kedua golongan di atas.
Terpecahnya umat Islam menjadi beberapa golongan tersebut didorong akan adanya keperluan dan kepentingan golongan masing-masing. Mereka mendatangkan keterangan dan hujjah untuk mendukungnya dengan beberapa cara, yaitu:
a. Mereka mencari ayat-ayat Alquran dan hadits yang dapat dijadikan hujjah.
b. Apabila mereka tidak menemukannya, mereka menakwilkan ayat Alquran
dan menafsiri hadits-hadits sesuai dengan golongannya.
c. Langkah terakhir, apabila mereka tidak mendapatkannya dari kedua
sumber tersebut, maka mereka memalsukan hadis-hadis,
Yang mula-mula melakukan pekerjaan sesat ini adalah golongan Syi’ah, sebagaimana, diakui Ibn Ali al-Hadid, seorang ulama Syi’ah dengan mengatakan bahwa asal mula timbulnya hadis yang menerangkan keutamaan pribadi-pribadi adalah dari golongan syiah sendiri.
Dengan memperhatikan keterangan tersebut, dapat diketahui bahwa kota yang mula-mula mengembangkan hadis-hadis palsu adalah baghdad, karena kaum syi’ah berpusat di sana. Bahkan al-Zuhri, seorang tabi’in berkata: “hadis keluar dari sejangkal, lalu kembali kepada kami sehasta”, sehingga tidak aneh jika Imam Malik menamakan Baghdad dengan pabrik hadis palsu.
Mulai saat itu, terdapat hadits-hadits yang shahih dan hadis-hadis yang palsu, tetapi di lain pihak terdapat golongan yang menentang orang-orang yang yang suka membuat hadis palsu, dengan membedakan mana hadis yang shahih dari hadis yang palsu. Mereka melakukan penelitian mengenai segala hal yang berkaiatan dengan hadits Nabi SAW, baik secara riwayat maupun dirayat dan menetapkan aturan-aturan yang tetap agar hadis dapat selamat sampai ke tangan penerusnya. Cara-cara ulama dalam menjaga hadis, yaitu dengan adanya keharusan menyebutkan sanad, mengadakan perlawatan mencari hadis dan berhati-hati dalam menerimanya, mengadakan penelitian terhadap orang-orang yang diduga sering membuat hadis palsu dan memerangi mereka, menjelaskan keadaan perawi dan menetapkan kaidah-kaidah untuk dapat mengetahui hadis- hadis palsu.
Dari pergolakan politik seperti di atas, cukup memberikan pengaruh
terhadap perkembangan hadits berikutnya, yaitu;
1. Pengaruh yang langsung dan bersifat negatif, ialah dengan munculnya
hadis-hadis palsu (maudhu) untuk mendukung kepentingan politiknya
masing-masing kelompok dan untuk menjatuhkan posisi lawannya.
2. Pengaruh positifnya ialah, lahirnya rencana dan usaha yang mendorong diadakannya kodifikasi hadis, sebagai upaya penyelamatan dari pemusnahan dan pemalsuan, sebagai akibat dari pergolakan politik tersebut.
D. KODIFIKASI HADIS
Dalam fakta sejarah, di masa sahabat belum ada pembukuan hadis secara resmi yang diprakarsai pemerintah, padahal peluang untuk membukukan hadits terbuka. Umar bin Khattab pernah berfikir membukukan hadits, ia meminta pendapat para sahabat, dan disarankan membukukannya. Setelah Umar bin Khattab istikharah sebulan lamanya ia membatalkan rencana tersebut.
Pada masa tabi’in wilayah islam bertambah luas. Perluasan daerah tersebut diikuti dengan penyebaran ulama untuk menyampaikan ajaran ilsam di daerah- daerah, termasuk ulama hadis. Penyebaran hadis disesuaikan dengan kekuatan hafalan masing-masing ulama itu sendiri, sehingga tidak merata hadis yang dimiliki ulama hadis. Maka kondisi tersebut sebagai alasan kodifikasi hadis.
Kodifikasi ini disinonimkan dengan tadwin al-hadis tentunya berbeda dengan penulisan hadis kitabah al-hadis. Tadwin al-hadis mempunyai makna “penulisan hadits Nabi ke dalam suatu buku (himpunan, dan susunan) yang pelaksanaanya dilakukan atas legalitas yang berlaku umum dari lembaga kenegaraan yang diakui masyarakat. Sedangkan Kitabah al-Hadits itu sendiri asal mulanya merupakan hasil kesaksian sahabat Nabi terhadap sabda, perbuatan, taqrir, dan atau al-ihwal Nabi kemudian apa disaksikan oleh sahabat itu lalu disampaikannya kepada orang lain, dan seterusnya, baik secara lisan maupun tulisan. Jadi belum merupakan kodifikasi, akan tetapi baru merupakan tulisan- tulisan-tulisan atau catatan-catatan pribadi. Sedangkan perbedaan-perbedaan antara kodifikasi hadis secara resmi dari penulisan hadis adalah sebagai berikut:
1. Kodifikasi hadis secara resmi dilakukan oleh suatu lembaga administratif
yang diakui masyarakat, sedang penulisan hadis dilakukan oleh perorangan.
2. Kegiatan kodifikasi hadis tidak hanya menulis, tapi juga mengumpulkan,
menghimpun, dan mendokumentaskannya.
3. Tadwin hadis dilakukannya secara umum, yang melibatkan segala perangkat yang dianggap berkompeten terhadapnya, sedang penulisan hadis dilakukan oleh orang-orang tertentu.


E. PERAN UMAR BIN ABDUL AZIZ DALAM KODIFIKASI
Secara resmi berdasarkan perintah khalifah, dengan melibatkan beberapa personil, yang ahli dalam khalifah, dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam masalah ini. Bukan dilakukan secara perorangan atau untuk kepentingan pribadi, seperti terjadi pada masa-masa sebelumnya.
Khalifah Umar bin Abdul Aziz melalui instruksi kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (Gubernur Madinah) dan para ulama Madinah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para penghafalnya. Di antara isntruksinya kepada para ulama Madinah:
“perhatikan atau periksalah hadits-hadits Rasulullah, kemudian himpunlah ia”

Demikian juga surat khalifah yang dikirim kepada Ibnu Hazm (wafat

“Tulislah kepadaku apa yang tetap padamu dari pada hadits Rasulullah,
sesungguhnya aku khawatir hilangnya ilmu dan wafatnya para ulama.
Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar ibn Muhammad bin Hazm agar mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al- Anshari (wafat 98H) murid kepercayaan siti ‘Aisyah. Dan alQasim bin Muhammad bin Abi Bakar (wafat 107H). instruksi yang sama ia tunjukkan pula kepada Muhammad bin Syihab Al-Zuhri (wafat 124H), yang dinilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui hadis dari pada yang lainnya. Peranan para ulama hadis, khususnya al-Zuhri, sangat mendapat penghargaan dari seluruh umat Islam. Mengingat pentingnya pernana al-Zuhri ini, para ulama di masanya memberikan komentar, bahwa jika tanpa dia, di antara hadis-hadis niscaya hadis sudah banyak yang hilang.
Beberapa pokok mengapa khalifah Umar bin Abdul Aziz mengambil kebijaksanaan seperti ini.Pertama ia khawatir hilangnya hadis-hadis, dengan menginggalnya para ulama di medan perang.Kedua ia khawatir akan tercampurnya antara hadis-hadis yang shahih dengan hadis-hadis yang palsu.
Ketiga bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara
kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lainnya tidak sama, jelas sangat
memerlukan adanya usaha kodifikasi ini.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Design Blog, Make Online Money